Antara Yang Politik dan Yang Hukum
Oleh: M. Charlie Meidino Albajili (Ditulis pada 1 Agustus 2017)
Bagaimana mengelola penggunaan air tanah saat ini menjadi urusan yang sangat krusial di DKI Jakarta. Pengambilan air tanah secara besar-besaran menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan penurunan permukaan tanah di Jakarta. Pakar Geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, dalam penelitiannya “Land Subsidence Induce Flooding in Jakarta”[1] mengemukakan bahwa penurunan muka tanah (Land subsidence) yang terhitung signifikan mulai 1975 telah mencapai 4,7 meter pada 2015. Daerah yang mengalami penurunan muka tanah paling parah adalah Pluit, disusul Daan Mogot, Kelapa Gading dan Marunda. Penyedotan air tanah secara masif adalah penyebab paling signifikan penurunan muka tanah di Jakarta yang juga menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir di Jakarta.[2]
Tidak hanya menjadi salah satu penyebab banjir, penyedotan air tanah secara masif juga akan mengancam ketersediaan cadangan air bersih utama yang diperlukan warga kota. Keberadaan air tanah begitu penting untuk memenuhi kebutuhan manusia karena 90% sumber daya air baku di dunia berasal dari sumber daya air tanah. Pengelolaan yang buruk untuk menjaga ketersediaan air tanah dapat mengakibatkan hilangnya sumber air bersih primer penyokong kehidupan kota.
Belum Jadi Prioritas
Pentingnya menjaga ketersediaan air tanah sambil menekan tingkat eksploitasi tinggi nampaknya belum menjadi perhatian serius oleh Pemprov DKI Jakarta dan warganya, terutama para pelaku bisnis/ pengelola gedung-gedung komersil. Pada 27 Juli 2017 lalu, harian Koran Tempo merilis hasil survey tentang besaran pencurian air tanah oleh gedung-gedung komersil di Jakarta, seperti hotel, perkantoran hingga mall. Survey tersebut dilakukan bersama Pemprov DKI Jakarta dan operator air bersih di Jakarta, yaitu Palyja dan Aetra. Data sementara untuk tahun 2017 ini ditemukan 28 sumur ilegal. Angka tersebut masih jauh lebih sedikit dibandingkan pada tahun 2016, yang ditemukan 198 titik sumur ilegal. Tahun 2015 bahkan Pemprov hanya menemukan 10 sumur ilegal. Survey tersebut dilakukan dalam rangka pengawasan dan sosialisasi terhadap pengelola gedung.
Menurut saya, data tersebut setidaknya menunjukan dua hal. Pertama, data tersebut tentu penting untuk membangkitkan perhatian warga kembali tentang banyaknya gedung-gedung sektor komersil yang melakukan eksploitasi air tanah secara ilegal. Kedua, data tersebut justru menunjukan ketidakseriusan Pemprov DKI sebagai pengawas. Pasalnya, data Dinas Tata Air DKI Jakarta hasil penelitian pada Juli 2016 menunjukan angka yang lebih fantastis. Dari 4.432 sumur air tanah yang terdaftar, hanya 2.666 sumur yang pemakaian tanahnya tercatat, yang berarti ada 1.764 pelanggan air tanah yang tidak tercatat.[3] Total volume pemakaian air tanah yang tercatat pada bulan itu 605.982 meter kubik.[4] Tidak hanya itu, dari 2.270 pelanggan yang tercatat, sebanyak 991 pelanggan (sekitar 22 persen dari total pelanggan) tercatat pemakaiannya nol meter kubik.[5]
Tentunya bukan hal mudah mengawasi penggunaan pemakaian air tanah di Jakarta seiring banyaknya modus yang digunakan masing-masing gedung untuk menutupi keberadaan sumur atau pemakaiannya. Selain untuk menghindari pajak air tanah, Tidak tersedianya fasilitas air bersih dari pemerintah juga menjadi faktor tersendiri yang biasanya dijadikan alasan pengelola gedung komersil memilih menggunakan sumur. Meski demikian, faktor tersebut akan saya kesampingkan sementara dengan asumsi awal bahwa Penyedotan air tanah perlu dihentikan.
Dalam hal mempersoalkan keseriusan Pemprov DKI Jakarta ini, Amrta Institute bekerja sama dengan Tifa Foundation pernah menghitung penggunaan air tanah sektor komersial. Dari hasil penelitian ditemukan dugaan pencatatan air tanah pada saat itu hanya mencerminkan 7,3 persen dari data yang sesungguhnya. Artinya sekitar 92,7 persen konsumsi air tanah oleh sektor komersial belum dicatat oleh pemerintah.[6]
Tidak telalu mengherankan melihat data tersebut jika kita juga melihat kecilnya anggaran APBD DKI Jakarta tahun 2017. Mata anggaran untuk Pengawasan pengendalian pemanfaatan air tanah hanya dianggarkan 1 Milyar rupiah dan pengendalian dampak lingkungan air tanah 400 juta rupiah. Cukup timpang jika dibandingkan dengan program normalisasi sungai dan penertiban kawasan yang dianggap penyebab banjir yang mencapai 22 Milyar rupiah.[7]
Dalam konteks tersebut, menurut hemat penulis, Pemprov DKI Jakarta perlu memberikan perhatian serius dengan memprioritaskan program dan anggaran untuk mengawasi eksploitasi air tanah besarbesaran oleh sektor komersil. Keterbukaan informasi soal penggunaan air tanah di Jakarta serta pelibatan berbagai elemen masyarakat juga perlu dilakukan demi mengefektifkan pengawasan dan memperluas penyadaran pengendalian penggunaan air tanah.
Minimnya Pengaturan Perlindungan Air Tanah Pasca Putusan MK
Pemprov DKI Jakarta saat ini bersandar pada dua instrumen hukum perpajakan dalam melakukan pengontrolan penyedotan air tanah yang dilakukan pelaku bisnis. Yang pertama adalah Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pajak Air Tanah dan kedua adalah Peraturan Gubernur 38 tahun 2017 tentang Pemungutan Pajak Air Tanah.
Di dalam kedua peraturan tersebut, terdapat beberapa ketentuan penting sebagai berikut:
Pasal 1 ayat 9 (Perda 17/2010)
Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah
Pasal 3 ayat 2 (Perda 17/2010)
Yang dikecualikan dari objek air tanah: Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah oleh pemerintah pusat dan daerah, untuk keperluan rumah tangga dasar, pertanian, perikanan, dan peribaddatan, serta pemadam kebakaran. Pasal 15 (Pergub 38/2017) Wajib pajak yang tidak mendaftarkan dan melaporkan pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah dikenai sanksi administratif.
Pasal 39 (Pergub 38/2017)
Sanksi administratif untuk setiap obyek pajak: a. Sumur Pantek RP 5 juta; b. Sumur bor Rp 25 juta; c. Dewatering Rp 50 juta.
Pendekatan berbasis ekonomis dalam menekan jumlah penggunaan air tanah bisa saja efektif, namun rawan tersesat dalam logika pencarian Profit. Tujuan pengawasan penggunaan air tanah seolah-seolah dianggap sebagai pencarian pendapatan daerah dan bukannya membatasi penyedotan air tanah secara masif oleh sektor-sektor komersil. Dalam logika profit dan bukannya benefit seperti itu, semakin banyak penyedotan air tanah dianggap sebagai kebaikan karena meningkatkan pendapatan daerah.
Untuk mencegah hal tersebut, tentu saja dapat diantisipasi jika ada pengaturan yang baik juga tentang perlindungan air tanah baik dari segi kemanfaatannya untuk masyarakat luas (non komersil) dan juga keberlanjutannya dari faktor kelestarian lingkungan. Sayangnya, pasca tahun 2015, belum ada lagi perlindungan hukum yang diberikan untuk membatasi pengusahaan air tanah secara berlebihan dalam platform perlindungan HAM dan Lingkungan hidup.
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi №85/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Undang-undang №7/2004 Tentang Sumber Daya Air pada Oktober 2015, pengaturan mengenai pendayagunaan air tanah cukup membingungkan. Berdasarkan putusan MK tersebut, UU 7/2004 beserta peraturanperaturan turunannya dibatalkan secara keseluruhan karena dinyatakan bertentangan dengan semangat pemanfaatan sumber daya air untuk kepentingan publik dalam konstitusi. Untuk menambal kekosongan hukum, maka UU №11/1974 tentang Pengairan berlaku kembali. Problemnya adalah, UU 11/1974 tidak mengatur pengelolaan air tanah secara memadai. Berbeda dengan pemanfaatan air permukaan yang telah banyak diatur dalam UU tersebut, pengaturan air tanah hanya ditemukan dalam 1 pasal, yaitu Pasal 5 ayat (2), yaitu:
Pasal 5 (2) Pengurusan administratif atas sumber air bawah tanah dan mata air panas sebagai sumber mineral dan tenaga adalah di luar wewenang dan tanggung-jawab Menteri yang disebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pengaturan mengenai air tanah baru muncul saat Pemerintah kemudian mengeluarkan PP №121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air. Di dalam PP 121/2015, diatur mengenai definisi air tanah dalam Pasal 1 (6) yaitu Air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Lebih lanjut, PP tersebut mengatur mengenai tata cara memperoleh izin pengusahaan air tanah.[8] Munculnya PP tersebut, yang dianggap memberikan dasar hukum untuk pengelolaan air tanah pasca Putusan MK sebenarnya menyimpan dua persoalan besar, yaitu:
Pertama, persoalan air tanah hanya diatur mengenai tata cara pengusahaannya tanpa adanya aturan mengenai prinsip-prinsip perlindungannya. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam UU 11/1974 hanya terdapat satu pasal yang tidak substansial mengenai air tanah. Tidak ada perlindungan hukum ataupun prinsip-prinsip pemanfaatannya yang diatur dalam peraturan setingkat UU. PP №121 tahun 2015 kini menjadi satu-satunya sumber hukum paling kuat yang menjadi rujukan pengaturan air tanah. Di dalamnya tidak ada prinsip-prinsip dasar pemanfaatan air tanah karena memang pembentukan PP tersebut ditujukan menjadi dasar hukum pengusahaan air tanah.
Sebagai contoh, Dalam PP №43 tahun 2008 tentang Air tanah yang sudah tidak berlaku lagi, diatur mengenai larangan-larangan pengeboran sebagai berikut:
Pasal 40 (1) Untuk menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3) huruf a dilakukan dengan cara: a. mempertahankan kemampuan imbuhan air tanah; b. melarang melakukan kegiatan pengeboran, penggalian atau kegiatan lain dalam radius 200 (dua ratus) meter dari lokasi pemunculan mata air; dan c. membatasi penggunaan air tanah, kecuali untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Larangan serupa tidak ditemukan di dalam PP 121/2015. Di dalam Pasal 33 PP tersebut, untuk memperoleh Izin Pengusahaan Air Tanah, pemohon hanya wajib harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis, di mana pada laporan teknis hanya sebatas laporan hasil pengeboran atau penggalian Air Tanah.
Kedua, situasi kekosongan pengaturan perlindungan air tanah tersebut justru menjauhi 6 prinsip pengelolaan air yang ditetapkan MK dalam Putusannya, yaitu: 1) Pengusahaan air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, dan meniadakan hak rakyat atas air; 2) Negara harus memenuhi hak rakyat atas air; 3) harus mengingat kelestarian lingkungan hidup sebagai HAM; 4) Harus dikuasai negara karena merupakan cabang hidup yang penting bagi hajat orang banyak; 5) Prioritas untuk BUMN/BUMD; 6) Izin kepada swasta menjadi prioritas terakhir.[9] Kekosongan pengaturan perlindungan air tanah pasca putusan tersebut ironisnya justru menghasilkan penyimpanganpenyimpangan dari prinsip-prinsip tersebut.
Atas dasar tersebut, menurut hemat saya, saat ini juga diperlukan satu agenda pembentukan Undang-Undang mengenai Pengelolaan Sumber Daya Air yang baru yang berbasiskan kelestarian lingkungan hidup dan pemenuhan hak atas air masyarakat. Sayangnya, agenda pembentukan UU Sumber Daya Air tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015–2019 di DPR-RI.[10]
Mengingat pentingnya pengelolaan air tanah ini, Chusei Yamada, Special Rapporteur PBB pada International Law Comission ke-55 di Jenewa pada tahun 2003 telah memberikan rekomendasi pengaturan air tanah sebagai berikut:
Groundwater development policies need to consider conjunctive use of groundwater and surface water, impacts to dependent ecosystems, coordination with land use planning and links to social policy and cultural practice. Aquifers need to be periodically assessed and monitored, if they are to be managed and allocated in an equitable fashion.[11]
Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan pun telah membuat panduan dasar kebijaksanaan konservasi air tanah yang mana harus memperhatikan beberapa hal berikut, yaitu:
1) Pemanfaatan sumber daya air harus digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta, menjaga agar sumberdaya tersebut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustainable);
2) Konservasi air tanah yang menggunakan prinsip kelestarian lingkungan;
3) Konservasi sumber daya air tanah harus berpegang pada asas kemanfaatan, keseimbangan dan kelestarian yang memenuhi faktor: fungsi sosial dan nilai ekonomis: kemanfaatan umum, keterpaduan, kelestarian, keadilan, kemandirian, dan transparansi dan akuntabilitas publik;
4) Konservasi air tanah didasarkan pada satuan wilayah cekungan air tanah secara utuh;
5) Hak atas air tanah adalah hak untuk menggunakan air tanah itu sendiri dan bukan hak untuk memiliki sumber daya tersebut;
6) Air tanah untuk air minum dan rumah tangga merupakan prioritas di atas keperluan lain.[12]
Kedua rekomendasi di atas menekankan pentingnya menjembatani pengaturan penggunaan air tanah dengan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup. Karena keunikan sifatnya, perlu dipahami bahwa sumber daya air pada prinsipnya dapat dimanfaatkan namun tidak dapat dimiliki. Selain itu, dalam konteks pembuatan regulasi, obyek yang diatur adalah pihak yang menggunakan sumber daya air tanah untuk tujuan komersil dengan tujuan untuk melindungi kebutuhan air minum dan rumah tangga yang menjadi prioritas.
***
Bahaya yang mengancam jika air tanah tidak dijaga telah begitu nyata. Berbagai riset yang mendukung pembentukan hukum serta pengawasannya telah banyak diberikan. Negara perlu segera menyelesaikan masalah sederhana yang dideritanya, antara yang politik dan yang hukum.
[1] Heri Andreas,dkk. Land Subsidence Induce Flooding in Jakarta. 2015. Bandung: Geodesy Research Division dan Deltares. Dipaparkan di Simposium “Cross Diciplinary Approaches to analyzing flood risk in Jakarta” bertempat di Universitas Tarumanegara pada 22–23 May 2017.
[2] Ibid. Memang ada beberapa faktor penyebab penurunan muka tanah yang saling berkesinambungan, seperti kondisi tanah, bobot bangunan, hingga faktor perubahan iklim, namun dalam penelitian tersebut, Heri mengemukakan bahwa penyedotan air tanah secara masif adalah penyebab paling signifikan.
[3] Sumber: http://geotek.lipi.go.id/?p=3810 . Diakses pada 31 Juli 2017.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160405102709-20-121738/menghitung-bolongnyapajak-air-tanah/ . Diakses pada 31 Juli 2017.
[7] Sumber: https://www.bantuanhukum.or.id/web/daftar-program-apbd-dki-jakarta-2017-terkaitpenggusuran/ . Diakses pada 31 Juli 2017.
[8] sal 1 (11) Izin Pengusahaan Air Tanah adalah izin untuk memperoleh dan/atau mengambil Air Tanah untuk melakukan kegiatan usaha.
[9] Lihat Putusan MK nomor 85/puu-xi/2013
[10] Sumber: http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list . Diakses pada 31 Juli 2017.
[11] Shared Natural Resources: first report on outlines By Mr. Chusei Yamada, Special Rapporteur. International Law Commission Fifty-fifth session Geneva, 5 May-6 June and 7 July-8 August 2003.
[12] Djaendi, 2003. Pengelolaan Air Tanah Berwawasan Lingkungan. Bandung (ID). Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan.