Dalam satu tahun terakhir, akrobat pembentuk Undang-Undang mengakali dan mengabaikan ketentuan hukum tidak ada habisnya. Berbagai Undang-Undang kontroversial disahkan secepat kilat dengan proses yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya dapat terjadi di era reformasi, mulai dari UU Minerba hingga terakhir Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pembangkangan sesungguhnya tengah dipertontonkan penguasa terhadap prinsip dasar demokrasi dan negara hukum. Kedaulatan rakyat diujung tanduk.
***
Penggunaan istilah Pembentuk Undang-Undang di sini tentu bukan hanya merujuk pada DPR, namun juga presiden. Dalam sistem hukum Indonesia saat ini Presiden memiliki kewenangan mengusulkan RUU dan membahas setiap RUU dengan DPR sebelum disahkan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Tata cara menjalankan kewenangan tersebut kemudian diatur dalam UU №12 Tahun 2011 dimana prosesnya mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, sebelum nantinya disahkan dan diundangkan, wajib dilakukan secara terbuka dan menjamin partisipasi masyarakat untuk menjamin akuntabilitas. Tidak hanya itu, untuk menjamin suatu RUU memiliki justifikasi akademik dan diperkuat bukti ilmiah (evidence based), wajib dibuat adanya naskah akademik yang tentu hanya dapat dibuat dengan pelibatan pemangku kepentingan dalam sebuah RUU. Tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan tersebut menjadi dasar menyatakan suatu UU cacat formil.
Dalam teori hukum, prosedur yang layak sangatlah penting dan setara dengan substansi hukum itu sendiri sebab tanpanya hukum akan gagal mencapai tujuannya.[1] Kelayakan prosedur suatu produk legislasi berbanding lurus dengan kualitas substansi dan pelaksanaan dari produk legislasi tersebut. Proses yang tidak partisipatif dan tertutup selain dapat menciptakan hukum yang menindas, justru juga dapat menghambat pelaksanaan hukum itu sendiri. Sejarah Indonesia telah mencatat UU Ketenagakerjaan №25 Tahun 1997 yang ditolak buruh habis-habisan kemudian tidak dapat diberlakukan meski telah diundangkan dan kemudian harus direvisi kembali.[2] Ditempuhnya seluruh prosedur oleh negara dengan baik untuk menjamin terpenuhinya hak setiap masyarakat dikenal sebagai prinsip Due Process of law. Prinsip tersebut menunjukan bahwa kekuasaan dikontrol oleh prosedur hukum, persis merupakan esensi dari demokrasi yang membedakannya dari negara otokrasi ataupun monarki.
***
Masih segar betul ingatan publik Indonesia bahwa di penghujung periode pertama pemerintahan Jokowi, jutaan masyarakat Indonesia di berbagai kota melakukan aksi #ReformasiDikorupsi memprotes serangkaian produk legislasi bermasalah sarat kepentingan oligarki. Salah satu di antaranya revisi UU KPK yang disahkan dalam proses transaksional yang tertutup dan substansinya yang mematikan KPK sebagai simbol perlawanan terhadap oligarki. Di sepanjang tahun ini yang merupakan awal dari periode kedua pemerintahan Jokowi, dengan memanfaatkan dukungan 70% kursi partai di DPR dan momentum pandemi Covid-19, apa yang diperlihatkan Presiden dan DPR dalam kinerja legislasinya menunjukan upaya lebih gigih untuk menutup ruang demokrasi dan memperbesar kekuasaan.[3]
Dari sebelas UU yang disahkan, enam di antaranya terkait perjanjian bilateral dan urusan APBN. Dua UU merupakan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) yang mendapatkan penolakan publik yaitu Pilkada (UU no. 6 Tahun 2020) dan Kebijakan Ekonomi Penanganan Corona (UU no. 2 tahun 2020). Tiga lainnya yaitu UU Minerba (UU no. 3 tahun 2020), UU Mahkamah Konstitusi (UU no. 7 tahun 2020) dan UU Cipta Kerja (UU no. 11 tahun 2020). Hampir seluruh produk legislasi yang disahkan dibahas dalam waktu singkat, menutup ruang partisipasi publik dan mendapat penolakan publik.
Dalam pengesahan dua Perppu menjadi UU, DPR terlihat tidak menjalankan fungsinya sebagai sarana aspirasi masyarakat sekaligus pengawasan (check and balances) kekuatan eksekutif. Padahal penolakan publik bertubi-tubi disampaikan sebab ditemukan banyak kejanggalan. Dalam Perppu Kebijakan Ekonomi Penanganan Corona misalnya, pemerintah menggunakan pandemi covid-19 sebagai dasar urgensitas, namun isinya lebih banyak ketentuan sektor keuangan yang dinilai para ekonom tidak terkait dengan penanganan covid-19 dan dampaknya. Pengaturannya memberikan kekebalan hukum bagi pejabat di sektor keuangan yang tidak dapat digugat ataupun dipidana termasuk dengan delik korupsi (Pasal 27 ayat 2 dan 3); menyelundupkan ketentuan Omnibus law perpajakan dan terlalu banyak mendelegasikan pengaturan kepada PP atau Peraturan Menteri.
UU Minerba yang disahkan pada 12 Mei 2020, di tengah situasi pembatasan sosial dalam penanganan pandemi dibahas dengan sangat tertutup meski tidak memenuhi syarat pembahasan sebagai RUU carry over.[4] Pembahasan yang sangat cepat, tertutup dan tidak melibatkan pemangku kepentingan (bahkan DPD) kemudian menghasilkan pengaturan yang memberikan kemudahan perpanjangan izin usaha tambang batubara besar dan sentralisasi kewenangan pengelolaan tambang yang syarat konflik kepentingan dengan berbagai pejabat pemerintahan.[5] Adapun UU MK yang disahkan pada 1 September 2020 yang memperpanjang masa jabatan Ketua dan Wakil ketua MK di usia 70 tahun dan masa tugas 15 tahun dibahas hanya dalam waktu satu minggu tanpa diketahui publik.[6] UU MK tidak masuk Prolegnas 2020–2024, tidak memenuhi syarat carry over, dan tidak sesuai dengan daftar kumulatif terbuka substansi hasil putusan MK namun kemudian disepakati bersama oleh presiden dan DPR. Kuat alasan menduga UU ini sarat itikad buruk mengintervensi kekuasaan MK dan menghilangkan hambatan uji materi.
Dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, jauh lebih banyak lagi kejanggalan yang ditemukan sejak dicanangkan. Akademisi dan juris di berbagai negara telah menyatakan Omnibus Law sebagai model legislasi yang illiberal dan lebih ditujukan mengatasi hambatan politik.[7] Dalam proses penyusunan di pemerintah, Naskah Akademik baru dibuat setelah draf dan poin-poin pasal telah disepakati dengan pengusaha; tidak ada pelibatan publik dan selain pengusaha; publik dan Lembaga negara independen tidak dapat mengakses draf yang kemudian diserahkan ke DPR hanya 1 bulan sejak disahkan dari Prolegnas.[8] Pembahasan di DPR terhadap draf yang akan mengubah 1.239 pasal dari 79 UU dengan 11 kluster berbeda ini dilakukan di tengah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan secara tidak sah memanfaatkan waktu reses. Tentu sejarah kemudian mencatat UU ini disahkan tanpa draf final yang kemudian terus berubah versinya bahkan hingga diundangkan.[9] Pengesahannya berujung pada aksi protes jutaan warga di berbagai kota yang lebih besar lagi pada Oktober 2020 dengan tajuk #MosiTidakPercaya.[10]
***
Menyikapi buruk rupanya proses pembentukan UU saat ini, LBH Jakarta berupaya menghadirkan terobosan hukum dengan malakukan litigasi strategis gugatan Surat Presiden tentang pengajuan RUU Cipta Kerja dari pemerintah kepada DPR melalui PTUN Jakarta. Gugatan tersebut adalah yang pertama dilayangkan kepada PTUN untuk menguji proses pembentukan UU dengan harapan PTUN dapat menguji tindakan administrasi yang terdapat dalam rangkaian proses pembentukan UU.
Selama ini seolah menjadi anggapan umum bahwa tidak ada ruang untuk menguji proses penyusunan RUU yang cacat prosedur yang belum disahkan. Publik harus menunggu UU tersebut disahkan untuk dapat mengujinya di Mahkamah Konstitusi baik secara formil maupun materiil meskipun sejak awal telah cacat prosedur. Dalam situasi demikian, kerugian publik dan bahkan negara telah ditimbulkan dari proses yang cacat dan tidak punya legitimasi tersebut dan menjadi tidak adil dan akuntabel jika pengujian hanya dapat dilakukan MK diakhir. Bahkan pengujian formil di MK pun hingga kini masih diperdebatkan konsep dan efektifitasnya.
Dalam perkara №97/G/2020/PTUN-JKT Majelis Hakim PTUN Jakarta yang dilayangkan pada April 2020 tersebut, hakim kemudian baru memberikan putusan pada akhir Oktober 2020 setelah Omnibus Law disahkan. Dalam putusannya hakim menolak menerima gugatan dan beranggapan MK sebagai forum yang tepat pengujian. LBH Jakarta beranggapan putusan tersebut sarat intervensi politik dan akan tetap menempuh upaya hukum agar dapat tercipta preseden dimana terdapat ruang lebih luas bagi publik untuk mengontrol penyusunan suatu RUU.
***
Berbagai produk legislasi yang dibuat dengan prosedur yang sangat tidak demokratis tersebut sesungguhnya melahirkan substansi yang mengerikan. Selain mengurangi perlindungan HAM dan Lingkungan Hidup dan memberikan benefit besar pada pengusaha (khususnya dalam UU Minerba dan UU Cipta Kerja), hampir seluruh UU yang disahkan menciptakan sentralisasi kewenangan kepada pemerintah pusat (bahkan imunitas dalam UU Corona) dan menciptakan peran pemerintahan daerah hanya sebagai pelaksana kebijakan pusat.
Tidak hanya itu, legislasi yang dihasilkan juga mengacaukan pembagian kekuasaan legislatif dan yudikatif yang berujung tidak optimalnya kontrol Lembaga tinggi negara lainnya. Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah sesungguhnya tengah mengakali amandemen UUD 1945 tentang kewenangan legislasi dalam Pasal 5 (1) UUD 1945. Dalam amandemen, kewenangan legislasi yang sebelumnya dimiliki Presiden dipreteli karena menciptakan kekuasaan absolut dan dikembalikan hanya pada DPR sebagai representasi rakyat.[11] Banyak sekali substansi UU Cipta Kerja yang baru akan diatur dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden justru mengembalikan kekuasaan absolut tersebut. Tidak hanya itu, dilanggarnya serangkaian Putusan MK dalam UU Cipta Kerja[12] serta revisi UU MK yang sarat konflik kepentingan juga secara de facto melemahkan kontrol dan legitimasi MK sebagai Lembaga amanah reformasi untuk menjaga konstitusi.
Berbagai ekses yang dihasilkan pasca legislasi buruk di atas sesungguhnya telah menghabisi amanat reformasi yang secara formil terdapat dalam 3 Ketetapan MPR di tahun 1998 yang tidak dapat disimpangi UU.[13] Berbagai analisis akademisi dan pengamat demokrasi Indonesia di berbagai negara pun menunjukan adanya upaya serius yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menutup ruang demokrasi dan memperkuat kekuasaan absolut dengan memanfaatkan pandemi.[14]
[1] D.J. Galligan (Due Process and Fair Procedures: A Study of Administrative Procedures1996)
[2] Lihat https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8213/prof-a-uwiyono-uu-ketenagakerjaan-uu-kanibalisme/ Diakses pada 9 November 2020
[3] Lihat https://www.beritasatu.com/faisal-maliki-baskoro/politik/572679/koalisi-jokowi-kuasai-6069-kursi-dpr Diakses pada 9 November 2020
[4] Syarat Carry over dalam UU 15/2019 harus sudah pernah dilakukan pembahasan di periode sebelumnya. UU Minerba tidak pernah dibahas dalam periode 2014–2019;
[5] Lihat https://www.jatam.org/pasal-pasal-oligarkis-yang-penuh-konflik-kepentingan-pebisnis-tambang-dan-energi-kotor-di-uu-cipta-kerja/ Diakses pada 11 November 2020
[6] Pada 24 Agustus 2020 persetujuan pembahasan bersama pada rapat kerja antara DPR dan pemerintah. Dilanjutkan pada 26–29 Agustus 2020 rapat panja tertutup membahas DIM. Pada 31 Agustus 2020 pengesahan RUU MK di pembicaraan tingkat 1. Pada 1 September 2020 Pengesahan RUU MK menjadi UU di rapat paripurna pembicaraan tingkat II.
[7] Glen. S Kruz. Tactical Maneuvering on Omnibus Bills in Congress. 2001. dalam American Journal of Political Science, Vol. 45, №1, Januari 2001, hal 210–223. Diakses pada 14 Juni 2020 melalui https://www.jstor.org/stable/2669368?read-now=1&seq=1#page_scan_tab_contents; Audrey O’Brien & Marc Bosc, eds, House of commons procedure and practice, 2nd ed (Cow- ansville, QC: House of Commons & Éditions Yvon Blais, 2009) at p. 724 dan Herb Gray dalam Adam M Dodek, ”Omnibus Bills: Contitutional Constraints and Legislative Liberations, ottawa Law Review • 48:1, p. 12.; http://www.duhaime.org/LegalDictionary/Category/ParliamentaryLaw.aspx; Michel Bedard. Omnibus Bills: Frequently Asked Questions. 2012. Ottawa: Library of Parliament; Briana Bierschbach. Everything you need to know about omnibus bills, and why they’re so popular at the Minnesota Legislature 31 Maret 2017 diakses melalui laman https://www.minnpost.com/politics-policy/2017/03/everything-you-need-know-about-omnibus-bills-and-why-theyre-so-popular-minne/; Barbara Sinclair. Unorthodox Lawmaking: New Legislative Proess in the US Congress. 1997. Washington DC: Congressional Quarterly; Louis Massicotte, Omnibus Bills in Theory and Practice, Canadian Parliamentary Review/Spring 2013, p.15.
[8] Informasi didapatkan dari keterangan saksi fakta pemerintah dalam gugatan Surat Presiden dalam perkara №97/G/2020/PTUN-JKT
[9] Lihat https://tirto.id/babak-baru-kejanggalan-uu-cipta-kerja-pesanan-revisi-dari-istana-f6go diakses pada 11 November 2020
[10]Lihat https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201008120220-20-555917/mosi-tidak-percaya-bergemuruh-di-penjuru-negeri diakses pada 10 November 2020
[11] Dalam UUD 1945 sebelum reformasi, Pasal 5 ayat (1) mengatur kewenangan legislasi dimiliki presiden dan DPR. Dalam Perubahan, Presiden hanya dapat mengusulkan RUU. Perubahan ini sangat mendasar untuk mengembalikan penegasan pemisahan kekuasaan dalam sistem presidensialisme serta meneguhkan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam naskah Komprehensif pembahasan amandemen, perubahan tersebut ditujukan untuk menghindari kekuasaan absolut di tangan presiden yang telah berlangsung selama Orde Baru. Lihat Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku IV Jilid I yang diterbitkan Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 2010
[12] KODE Inisiatif mencatat, terdapat 31 putusan MK yang tidak diindahkan oleh pemerintah dalam menyusun substansi RUU Cipta Kerja. KODE Inisiatif, Membaca 16 Tahun Mahkamah Konstitusi: Data Uji Materi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (2003–2019), Jakarta: Yayasan Konstitusi Demokrasi Inisiatif, 2019.
[13] TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Pelaksanaan dan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dari Unsur Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta TAP. MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
[14] Lihat https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/covid-19-crisis-deepens-illiberalism-in-indonesia/ dan https://www.newmandala.org/from-stagnation-to-regression-indonesian-democracy-after-twenty-years/ Diakses pada 10 November 2020